YUK RELAKS SEJENAK
Buya Hamka pernah berkata : Jalan untuk berjuang itu ada dua jalan, yaitu (1) Politik, (2) Seni dan Dakwah. Mengapa jalur seni dan dakwah jadi satu jalan? Simpel saja jalan dakwah identik dengan aktivitas berpikir (menguras energi tentunya) maka harus diimbangi dengan seni (supaya tidak menjemukan) dan tuntunan yang disampaikan dengan kreatifitas seni tentu menyenangkan dan mudah dipahami bukan?
Sehubungan dengan jalan seni dan dakwah pula mari kita bergembira, menghibur diri dengan menikmati adegan GORO-GORO (lazim disajikan dalam pementasan pagelaran wayang kulit). Masyarakat Jawa khususnya dan penggemar wayang tentu akrab dengan paraga PONO KAWAN yaitu SEMAR, GARENG PETRUK DAN BAGONG. Sunan Giri, Sunan Kali Jaga dan para Wali lainnya yang telah menciptakan tokoh-tokoh Pono Kawan ini tentu saja bermaksud untuk mengisi kekosongan makna, lebih tepat memperkaya makna terhadap ajaran Islam yang-waktu itu- baru masuk ke Nusantara. Masyarakat Jawa yang semula beragama Hindu Budha tentu lebih mudah apabila diajak untuk memahami ajaran Islam tidak langsung secara tekstual, melainkan lebih mengena memakai peraga-peraga yang akrab dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Nah. langsung saja ya...Pada setiap adegan GORO-GORO selalu muncul tokoh Pono Kawan di atas dengan riang gembira bersuka ria berjoget menyayikan gending-gending Jawa-tentu sarat dengan ajaran kebaikan-untuk sejenak menghibur penonton dari beban keruwetan kehidupan sehari-hari. Kalau kita sejenak mau melihat lebih jeli...mengapa tokoh Semar dan ke tiga anaknya selalu tampil menghibur majikan mereka, yaitu para Pandawa (sekaligus kita)?
Jawabannya adalah pada penafsiran kita terhadap peraga tokoh-tokoh tersebut, mulai dari nama-nama mereka, bentuk fisiknya, dan profil mereka selengkapnya. Para pakar jagat pewayangan tentu sangat paham terhadap makna simbol-simbol Pono Kawan ini. Berikut beberapa pendapt tentang Pono Kawan.
Pendekatan
ajaran Islam dalam kesenian wayang juga tampak dari nama-nama tokoh
punakawan. Barangkali tak banyak orang yang tahu kalau nama-nama tokoh
pewayangan, seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sebenarnya berasal
dari bahasa Arab.Ada yang menyebutkan, Semar berasal dari kata Sammir yang artinya siap sedia. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa arab Ismar. Menurut orang yang berpendapat ini, lidah orang Jawa membaca kata is- menjadi se-.
Contohnya seperti Istambul dibaca Setambul. Ismar berarti paku. Tak heran, jika tokoh Semar selalu tampil sebagai pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada. Ia selalu tampil sebagai penasihat.
Lalu, ada yang berpendapat, Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan atau kebagusan. Versi lain meyakini, Nala Gareng diadaptasi dari kata Naala Qariin. Orang Jawa melafalkannya menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti memperoleh banyak teman.
Dalam laman wayang.blogspot.com disebutkan, hal itu sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya umat agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Bagaimana dengan Petruk? Ada yang berpendapat, Petruk berasal dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan.
Selain itu, ada juga yang berpendapat kata Petruk diadaptasi dari kata Fatruk—kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf, Fat-ruk kulla maa siwallaahi (tinggalkan semua apa pun yang selain Allah).
Wejangan itu, menurut tulisan dalam laman wayang.blogspot.com, menjadi watak para aulia dan mubalig pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong, artinya kantong yang berlubang.
Maknanya bahwa setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang, papar tulisan itu.
Sedangkan Bagong, diyakini berasal dari kata Bagho yang artinya lalim atau kejelekan.
Pendapat lainnya menyebutkan, Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yakni, berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan.
Dalam pagelaran wayang, keempat tokoh Punakawan itu selalu keluar pada waktu yang tak bersamaan. Biasanya, tokoh Semar yang dimunculkan pertama kali, baru kemudian diikuti Gareng, Petruk, dan terakhir Bagong.
Secara tak langsung urutan tersebut menunjukkan ajakan (dakwah) yang diserukan para wali zaman dahulu agar meninggalkan kepercayaan animisme, dinamisme, dan kepercayaan-kepercayaan lain menuju ajaran Islam.
Jika Punakawan ini disusun secara berurutan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, secara harfiah bermakna, “Berangkatkan menuju kebaikan, maka kamu akan meninggalkan kejelekan. (sumber:kompilasi blog)
Menurut hemat penulis, penafsiran makna-makna di atas adalah upaya untuk menegakkan langkah kita dalam meniti kebenaran hidup saat demi saat, ibarat tongkat yang bisa kiat gunakan untuk memudahkan langkah di jalan yang licin dan terjal. Ibarat payung yang dapat kita gunakan sewaktu hujan, ibarat arah jalan yang harus kita tempuh agar tidak tersesat.
Mengapa demikian? Karena kita pasti setuju bahwa setan yang menjadi musuh orang beriman senantiasa menggoda agar kita lupa dan enggan mentaati perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dalam kemapanan (atau lebih tepat : kekosongan atau alpa) itulah yang cenderung membuat manusia LUPA DIRI. Maka dengan pengayaan makna-makna kebenaran yang dikreatifkan dalam bentuk Dakwah dan Seni tadi akan membuat kita selalu waspada sekaligus gembira dalam Penghambaan kita kepada Allah Subhanahu Wa Taala. (bersambung)